Jumat, 22 April 2016

Pembangunan Pedesaan dan Pengentasan Kemiskinan di Korea Selatan

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang terbelakang di dunia sampai tahun1960-an. Pada tahun 1961, GNP per kapita Korea Selatan hanya mencapai US $ 81. Namun, perekonomian Korea Selatan berubah secara dramatis sejak tahun 1962, yang mana negara ini kemudian menjadi negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 1996. Korea Selatan menjadi negara industri maju di tahun 2000-an, dan menjadi negara anggota Development Assistance Committee (DAC) pada tahun 2010. Yang menarik adalah bagaimana Korea bisa mencapai pembangunan ekonomi yang demikian tinggi tersebut dalam periode waktu yang singkat, dan dapat mengatasi kemiskinan.

Di awali pada tahun 1971, pemerintah Korea Selatan memulai gerakkannya dengan mensuplai 350 sak semen kepada setiap desa disana. Pada saat pengirimannya, Pemerintah tidak memberikan instruksi apapun untuk apa semen tersebut digunakan, melainkan meminta mereka untuk memutuskan bagaimana mereka akan menggunakan semen tersebut untuk tujuan kemasyarakatan. Masyarakat perdesaan kemudian mendiskusikan tentang lokasi di mana mereka akan menggunakan semen tersebut. Pada akhir tahun 1972, pemerintah memantau kinerja setiap desa, dan memberi penghargaan kepada desa yang mencapai hasil yang menakjubkan. Saemaul Undong (Gerakan Masyarakat menuju desa baru) di Korea dimulai dengan cara ini.

Pada akhir tahun 1982, Saemaul Undong di daerah pedesaan mencapai hasil yang menakjubkan. Selama tahun 1971- 1982, sebagian besar areal pertanian dan jalan pedesaan dikembangkan, serta jembatan kecil, balai-balai desa dan rumah-rumah pedesaan dibangun kembali oleh masyarakat desa melalui Saemaul Undong. Sebagian besar jalan desa dapat diakses oleh mobil/kendaraan roda empat, dan setiap desa telah memasang listrik serta sistem telekomunikasi. Sebagian besar desa juga membangun sistem pipa air, memperbaiki toilet, dan meluncurkan proyek-proyek terkait peningkatan pendapatan masyarakat.

Selama periode yang sama, anggaran dengan total 5,258.3 miliar won, atau setara dengan US $ 7,203.2 juta telah diinvestasikan untuk proyek Saemaul Undong tersebut. Pemerintah Korea Selatan menginvestasikan 51,0 persen dari seluruh total biaya, sementara masyarakat menyumbang 49,0 persennya. Diidentifikasi bahwa pendapatan rumah tangga pertanian di pedesaan melampaui pendapatan rumah tangga buruh di perkotaan pada tahun 1978.

Dukungan masyarakat tersebut adalah diluar dukungan mereka dalam bentuk natura dan kontribusi tenaga kerja. Masyarakat internasional mengakui bahwa Saemaul Undong memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan pedesaan di Korea. (Chung Ki Whan, Ph.D (Korea Institute for Rural Development)

Sumber : bppsdmp.deptan.go.id

Integrasi Pemerintah Pusat dan Desa

Desa itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa itu adalah negara. Sebelum negara monarchi atau sekarang bergeser menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada, desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sedah sejak lahirnya merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan, pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campur tangan dalam pengaturan desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.

Dalam proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi. Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi, mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada daerah.

Desa tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit dipertangungangjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan pengintegrasian lokal ke dalam nasional ? Pengintegrasian lokal (desa) untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global? Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang, berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya?

Sumber : http://pspk.ugm.ac.id/artikel-terbaru/92-uu-desa.html (Pengantar Artikel UU Desa: Mengembalikan Kedaulatan Menuju Pembangunan Desa Berkelanjutan)